SELAMAT DATANG DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM BUSTANUL ULUM LARANGAN BADUNG PALENGAAN PAMEKASAN MADURA

Senin, 11 Februari 2013

Historis Berdirinya Bustanul Ulum Larangan Badung


PROFIL MADRASAH 
BUSTANUL ULUM LARANGAN BADUNG
A. Latar Belakang
Lembaga Pendidikan Islam Bustanul Ulum Larangan Badung, merupakan sebuah madrasah diniyah yang berdiri sekitar pertengahan tahun 1994 M. yang terletak di dusun Gunung II Desa Larangan Badung, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan Madura. Yang mana berdirinya lembaga tersebut dilatar belakangi adanya permintaan masyarakat setempat kepada K. Fathor Rahman Zaini (pengasuh sekarang) untuk menampung dan mengajari anak-anak mereka tentang ilmu agama, padahal pada waktu itu beliau baru saja singgah dan berdomisili di tempat tersebut karena menikah dengan istrinya, Ny. Hadiyah yang asli penduduk setempat, namun karena saat itu di kawasan Larangan Badung masih jarang ditemukan lembaga pendidikan untuk menuntut ilmu agama ( Madrasah ) walupun ada, namun jarak yang ditempuhnya lumayan jauh. Setelah genap satu tahun beliau bedomisili –walau dengan berat hati– akhirnya beliau menerima permintaan mereka, karena sebagai alumni pondok pesantren yang notabene sudah sedikit banyak mengenyam pendidikan agama, beliau merasa mempunyai tanggung jawab besar atas pengetahuan masyarakat tentang ilmu agama serta merasa mempunyai kewajiban mengamalkan ilmu yang selama 8 tahun didapat di PP. Mambaul Ulum Bata-Bata Palengaan Pamekasan.
Dengan modal tekad serta niat li i’la’i kalimatillah akhirnya pada tahun 1994 berdirilah LPI Bustanul Ulum dengan jumlah murid 8 orang siswa yang beliua ajari sendiri bersama istrinya, yang diletakkan di halaman rumahnya (Amper. Madura). Dan pada tahun berikutnya masyarakat semakin banyak yang menitipkan anak-anak mereka untuk belajar ilmu agama. Maka pada tahun 1995 jumlah murid pun bertambah menjadi 30 orang siswa. Dari situlah kemudian beliau mulai membangun tempat dari bambu sebagai sarana belajar mengajar dan merekrut  4 orang guru untuk membantu beliau dalam proses belajar mengajar.
Begitulah seterusnya setiap tahun jumlah siswa yang ingin menuntut ilmu semakin bertambah, maka beliau pun mempunyai keinginan besar untuk membangun sebuah tempat yang lebih layak lagi, namun hal itu terasa sangatlah berat dan sulit karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, maka dengan bermaksud meminta doa restu dan barokah serta dukungan, akhirnya beliau pun memutuskan pergi sowan menemui guru besarnya di PP. Mambaul Ulum Bata-Bata yaitu Kyai H. Abdul Hamid dan mengadukan akan keinginan dan kendala yang ada. Maka atas izin Allah SWT. tidak lama kemudian tepatnya pada tahun 1997 beliau bisa membuat bangunan dari gedung sebanyak 3 lokal.
Begitulah seterusnya setiap tahun jumlah murid semakin meningkat secara signifikan, bahkan masyarakat meminta agar disediakan tempat belajar untuk anak-anak yang masih berusia dini, maka pada tahun 1998 berdirilah semacam Raudlotul Athfal (RA) dan pada tahun 1999 berdiri Taman Kanak-Kanak (TK) yang hal itu membuat beliau semakin bingung karena sarana yang tidak mencukupi dan finansial yang tidak memungkinkan, maka beliau pun sowan dan mengadukannya kembali kepada sang Kyai prihal yang terjadi dan alhamdulllah pada tahun 2000 jumlah lokal yang bisa dibangun bertambah menjadi 6 lokal dengan jumlah guru 6 orang.
Akhirnya, karena banykanya tingkatan dilembaga tersebut, beliau membuat satu yayasan yaitu yayasan Ar-Raudloh yang menangui dari masing-masing tingkatan mulai dari RA, TK, TPQ (sebagai lanjutan dari TK yang didirikan pada tahun 2007) dan MDU, MDW. Dan dalam upaya mengembangkan masing-masing tingkatan tersebut pada tahun 2010 beliau dan para pengurus berinisatif untuk mengambil guru tugas dari pondok pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, yang hal itu berlanjut sampai saat ini.

B. Visi dan Misi LPI Bustanul Ulum Larangan Badung
  1. Visi 
a)      Mencetak siswa yang mumpuni dalam bidang ilmu agama, berahlakul qur’ani dan populis. 
b)      Memberi sarana agar siswa terampil dalam membaca baca al-Qur’an dan kitab kuning. 
c)      Berusaha dan memotivasi siswa agar menjadi siswa yang ready for use.
  1. Misi 
a)      Siswa terampil dalam membaca al-Qur’an dan paham dalam ilmu agama.
b)      Menghasilkan output yang dinamis dalam bidang ilmu keagamaan.
c)      Menciptakan santri yang mampu menjadi agent social of change (pengantar perubahan sosial) menuju masyarakat madani.

 
C.     Motto
“Keberhasilan bukan suatu kebetulan, melainkan melalui proses belajar jangka panjang”

D.    Program Unggulan
1.      I’lan kitab Nadzam Maqsud (Sorrof) & Nadzam Al-Imrithi (Nahwu)
2.      Evaluasi Baca Al-Qur’an & Kitab Kuning dengan metode demonstrasi

E.     Kegiatan Ekstra Kulikuler
  1. Praktik Ubudiyah








 


Rabu, 06 Februari 2013

Tata Cara Thaharah (Bersesuci)



PENDAHULUAN
Thaharah menduduki masalah penting dalam Islam. Boleh dikatakan bahwa tanpa adanya thaharah ibadah kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan diterima. Sebab beberapa ibadah utama mensyaratkan thaharah secara mutlak. Tanpa thaharah ibadah tidak sah. Bila ibadah tidak sah maka tidak akan diterima Allah. Kalau tidak diterima Allah maka konsekuensinya adalah kesia-siaan.
Rujukan dalam masalah thaharah adalah Al Quran dan As Sunnah, dan bukan logika atau perasaan. Kalau Al Quran dan As Sunnah menyebutkan suatu benda itu najis, maka kita tidak akan mengatakan sebaliknya. Dan apa-apa yang tidak disebutkan oleh keduanya sebagai najis, tentu tidak bisa dikatakan sebagai najis. Sebab, sekali lagi ilmu tentang najis bukan ilmu kimia. Najis juga bukan ditetapkan berdasarkan rasa jijik, jorok, tidak suka, atau mengadung bakteri tertentu atau tidak. karena istilah suci bukan kebalikan dari bersih. Suci itu kebalikan dari najis. Segala yang bukan najis atau yang tidak terkena najis adalah suci. Debu, tanah, lumpur, keringat dan sejenisnya dalam rumus kesucian fiqih bukan benda najis. Artinya, meski tubuh dan pakaian seseorang kotor berdebu terkena lumpur atau tanah becek, belum tentu berarti tidak suci. Buktinya, justru kita bertayammum dengan menggunakan tanah atau debu. Kalau debu dikatakan najis maka seharusnya hal itu bertentangan. Tanah dalam pandangan fiqih adalah benda suci namun boleh digunakan untuk bersuci. Dengan kata lain, rumus najis tidaknya sesuatu adalah ayat Al Quran dan As Sunnah. Demikian juga yang namanya wudhu dan mandi janabah bukan sekedar cuci muka. Sebab wudhu adalah ritual ibadah yang ditetapkan lewat ayat Al Quran atau Hadits.
Maka, melakukan thaharah pada hakikatnya bukan sekedar menjaga kebersihan. Sebab kebersihan itu tidak selalu identik dengan “bersih-bersih”, meski pun banyak persamaannya di antara keduanya. Dalam syariat Islam, segala hal yang terkait dengan membersihkan diri dari segala bentuk najis, baik di badan, pakaian atau tempat ibadah, termasuk ke dalam thaharah.
Termasuk juga segala bentuk ritual seperti berwudhu, mandi janabah, bertayammum, beristinja’ dan sejenisnya, juga termasuk ke dalam ibadah ritual, yang bila dikerjakan akan mendatangkan pahala. Dan sebagian dari ritual thaharah itu ada yang hukumnya wajib, sehingga berdosa bila ditinggalkan, sebagian lainnya ada yang hukumnya sunnah, sehingga meski ditinggalkan tidak berdosa, namun seseorang akan merasa rugi karena tidak mendapatkan pahala. Dan sebagian lainnya berstatus sebagai syarat sah dari ritual ibadah lainnya, dimana tanpa ritual thaharah itu tidak dikerjakan, maka ibadah lainnya itu tidak sah dikerjakan.

PENGERTIAN THAHARAH
Istilah ath thaharah ( الطھارة ) dalam bahasa Arab artinya adalah an nadhzafah ( النظافة ) yang berarti kebersihan. Sedangkan makna thaharah secara istilah para ulama fiqih tentu bukan semata-mata kebersihan dalam arti bebas dari kotoran. Thaharah dalam istilah para ahli fiqih adalah:

عِِِبَارَةٌ عَنْ غَسْلِ اَعْضَاءٍ مَخْصُوْ صَةٍ بِصِفَةٍ مَخْصُوْصَةٍ

Mencuci anggota tubuh tertentu dengan cara tertentu.

رَفْعُ الْحَدَثِ وَ إِزَالَةِ النَجْسِ

Mengangkat hadats dan menghilangkan najis.
Dari pengertian di atas, maka thaharah dibagi menjadi dua macam: (1) Mensucikan sesuatu yang yang bersifat fisik, yaitu najis. (2) Mensucikan sesuatu yang bersifat hukum, yaitu hadats. Jadi thaharah itu pada hakikatnya adalah mensucikan diri dari najis atau dari hadats. Thaharah dari najis sering diistilahkan dengan thaharah hakiki. Sedangkan thaharah dari hadats sering disebut dengan istilah thaharah hukmi.

PENGERTIAN NAJIS
Najis menurut bahasa adalah sesuatu yang kotor (menjijikkan). Sedangkan menurut syara’ adalah sesuatu yang dianggap kotor dan mencegah sahnya shalat tanpa ada hal yang meringankan.

CONTOH-CONTOH DARI NAJIS
  1. Segala sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur
  2. Bangkai, Kecuali manusia, ikan dan belalang
  3. Darah
  4. Nanah
  5. Anjing dan babi
  6. Minuman keras seperti arak dan sebagainya.
  7. Bagian anggota badan binatang yang terpisah karena dipotong dan sebagainya selagi masih hidup.

MACAM-MACAM NAJIS CARA MENSUCIKANNYA
Najis dibagi menjadi 3 , Yaitu :
  1. Najis Mukhaffafah ( najis ringan )
Adalah najis yang disebabkan karena air kencing bayi laki-lakiyang belum sampai 2 tahun dan ia masih belum makan apa – apa kecuali air susu.
Cara mensucikannya: Ialah cukup dengan memercikan air pada tempat yang terkana najis
  1. Najis Mughalladzah ( najis berat )
      Adalah Najis yang berasal dari anjing dan babi atau yang dilahirkan dari keduanya atau dari salah satunya.
Cara mensucikan: Ialah dengan menggunakan air yang suci kemudian membasuh tempat najis itu sebanyak tujuh kali dan pada salah satunya air tersebut disertai dengan debu yang mensucikan atau yang tidak najis atau yang bukan bekas dipakai dalam tayammum.
Aturannya Ada tiga cara :
  1. Mencampur air dengan debu sebelum diletakkan di atas tempat najisnya.
2.      Mengenakan air terlebih dahulu di atas tempat najisnya sebelum menggunakan debu , baru kemudian di atasnya diberi debu.
  1. Meletakkan debu terlebih dahulu , kemudian dituangkan air di atasnya.
  1. Najis Mutawassithah ( najis sedang ) 
Adalah selain dari apa yang disebutkan tadi. Najis ini dibagi menjadi 2 :
  1. Najis Hukmiyah , yaitu najis yang tidak mempunyai dzat (bentuk), rasa, warna dan bau, seperti bekas air kencing atau kotoran
Cara mensucikannya:  Adalah dengan menuangkan air diatas tempatnya sekalipun hanya sekali dan tidak disengaja.
  1. Najis ‘Ainiyah ,yaitu najis yang mempunyai dzat ( bentuk ),rasa , warna  dan bau.
Cara mensucikannya: Adalah dibasuh sekali dan disyaratkan agar dzat najisnya itu hilang,  Adapun sifat – sifatnya (rasa, warna dan bau), apabila hanya tinggal rasanya saja yang bersisa maka ia najis selama ia tidak sulit untuk dihilangkan. Batasan sulitnya adalah bahwa najis itu tidak dapat hilang kecuali dengan memotongnya.Pada saat itu tempat tersebut dihukumi najis yang dapat di maafkan. Dan jika setelah itu dapat dihilangkan maka wajib dihilangkan dan baginya tidak wajib mengulangi shalat yang telah dilakukan sebelumnya. Jika najis itu sulit hilang, maka wajib menggunakan sabun dan yang semacamnya kecuali bila dalam keadaan udzur.jika warna dan baunya masih bersisa, maka hukumnya dimaafkan.
Akan tetapi apabila yang tersisa itu hanya warnanya saja atau baunya saja , maka tempat tersebut suci bila sangat sulit untuk menghilangkannya. Batasan sulit disini adalah bahwa najis itu tidak hilang dengan digosok memakai air sebanyak 3 kali. Dan bila setelah itu dapat dihilangkan, maka ia tidak wajib mensucikan tempat tersebut.
Adapun cara mensucikan tanah yang terkena najis Mutawassithah yang cair, seperti air kencing adalah dengan memenuhkan (menggenangkan) air padanya, yaitu apabila tanah itu menyerap najis. Jika ia tidak menyerap najis, maka harus dengan mengeringkannya terlebih dahulu kemudian dituangkan kepadanya air sekalipun hanya sekali.
Sedangkan cara mensucikan tanah dari najis yang padat adalah cukup dengan mengangkat najis tersebut dari tanah itu, yaitu bila ia belum terkena najisnya. Jika najis tersebut basah dan tanah itu terkena najisnya, maka hendaklah najis tersebut diangkat dari tanah itu kemudian dituangkan air diatas najisnya hingga menyeluruh.

NAJIS YANG DIMAAFKAN ( MA’FU )
Najis yang dimaafkan artinya tidak usah dibasuh / dicuci. Ada beberapa perkara lain yang dapat dimaafkan :
  1. Sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan penglihatan yang normal dari jenis najis, walaupun najis tersebut mughalladzah.
  2. Asap barang najis yang sedikit yang terpisah dari barang najis itu dengan perantaraan api. Berbeda halnya dengan uap yang terpisah dari sesuatu tanpa perantaraan api , maka ia adalah suci.
  3. Bekas sisa yang terdapat pada tempat Istinja’ ( Qubul dan Dubur ) yang menggunakan batu , maka ia di maafkan bagi orang yang bersangkutan dan tidak bagi lainnya. Jika ia masuk kedalam air yang sedikit kemudian bekas istinja’ itu mengenai air tersebut, maka ia telah ternajisi.
  4.  Debu jalan yang bercampur dengan sesuatu yang benar – benar najis. Bila ia meragukan atau menduga bahwa debu itu najis, berarti debu itu suci dan tidak lagi sebagai najis yang dimaafkan.
  5. Roti yang dibakar atau dipendam dalam abu bakar yang najis, sekalipun sebagian dari abu bakar itu melekat padanya, maka yang demikian itu dimaafkan sekalipun abu tesebut mudah dihilangkan dari roti tersebut. Dan apabila ia meletakkannya dalam susu dan yang semacamnya sedangkan bekas abu tersebut menjadi jelas pada susu itu, atau mengena pakaian maka ia dimaafkan juga.
  6. Ulat buah – buahan atau keju apabila ia mati didalamnya. Bangkai ulat tersebut adalah najis yang dapat dimaafkan.
  7. Benda – benda cair najis yang dapat digunakan untuk obat – obatan dan bau – bauan yang wangi untuk memperbaiki ( bau ) obat itu, maka ia dimaafkan dalam kadar untuk maksud perbaikan tersebut.
  8. Pakaian yang dihamparkan diatas tembok yang dibangun dengan menggunakan abu bakar yang najis, maka ia dimaafkan dari ( najis ) abu yang mengena pakaian tersebut, karena yang demikian itu sulit untuk dihindari.
  9. Tetesan telur kutu.
  10. Tahi (Kotoran) Lalat ,sekalipun banyak
  11. Tanah kuburan yang terbongkar.
  12. Bulu najis yang sedikit dari binatang selain anjing dan babi atau yang dilahirkan dari keduanya atau dari salah satunya yang dihasilkan dari hubungan dengan binatang lainnya. Adapun bulu anjing dan babi yang sedikit, maka ia tidak dapat di maafkan sebagaimana tidak dapat di maafkan banyaknya. Kecuali bagi tukang potong bulu binatang ( selain anjing dan babi ) atau penunggangnya, karena yang demikian itu sulit untuk dihindari.
  13. Tahi ( Kotoran ) ikan yang terdapat dalam air selama ia tidak mengubah air itu dan tidak meletakkan suatu campuran apapun didalamnya.
  14. Sisa darah yang terdapat pada daging atau tulang, maka ia dimaafkan bila memasukannya kedalam periuk sebelum mencuci darahnya, sekalipun air dagingnya itu menjadi berubah karenanya. Dan jika darah itu dicuci dari daging dan tulang tersebut sebelum dimasukkan kedalam periuk sehingga airnya itu dapat berpisah dalam keadaan jernih, maka pisahan air itu suci, jika tidak berpisah dalam keadaan jernih, maka pisahan air itu najis dan tidak dimaafkan. Sedangkan sisa – sisa warna darah itu tidak najis, karena hal itu tidak mungkin untuk dibersihkan sebersih – bersihnya, maka cukup dicuci sebagaimana biasanya dan selebihnya dari itu dimaafkan.
  15. Air liur orang tidur yang dengan jelas keluar dari dalam perut, misalnya berwarna kuning dan berbau busuk, ia dimaafkan bagi orang yang bersangkutan yang terbasahi dengannya sekalipun banyak dan mengalir.
  16. Kotoran unta dan binatang lainnya yang semacam dengannya adalah dimaafkan apabila mengena seseorang yang membersihkan kotoran itu sebagaimana juga orang yang menghalaunya dan sebagainya.
  17. Tahi dan kencing binatang ternak yang mengena bebijian ketika ia ditebah.
  18. Tahi tikus yang jatuh kedalam kolam jamban yang digunakan untuk beristinja’ maka ia dimaafkan bila sedikit dan tidak sampai mengubah salah satu sifat air tersebut.
  19. Benda cair yang dijatuhi binatang mati yang tidak mempunyai darah mengalir,seperti semut,cecak, lalat kuda, lebah, belalang, kecoa dan semacamnya, maka benda cair yang ternajisi oleh sesuatu yang jatuh dan mati didalamnya itu dapat dimaafkan bila yang jatuh itu dengan sendirinya kedalam air atau kedalam sesuatu yang cair ( misalnya kena angin ), maka yang demikian itu tidak menajiskan, kecuali bila air itu berubah. Sedang apabila najis itu dilempar oleh seseorang atau binatang kedalamnya lalu air tersebut menjadi berubah karena najis tadi, maka air tersebut menjadi najis pula dan tidak di maafkan.
 Oleh: Syahrul Anam, S.Pd.I

Jumat, 01 Februari 2013

Panduan Tata Cara Jamak & Qashar


PENDAHULUAN
            Shalat merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap manusia selama mereka masih hidup dan sempurna akalnya. Dengan mewajibkan sholat bukan berarti Allah swt ingin memberatkan hamba-Nya, melainkan kewajiban itu adalah wujud kasih sayang yang diberikan Allah agar manusia senantiasa ingat akan penciptanya serta tidak lupa tugasnya sebagai kholifah yang harus selalu menyembah  kepada Allah, sebagaimana Firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ} [الذَّارِيَاتِ:56] .
Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Ad-Dzaariyaat:56)

Bukti bahwa Allah tidak memberatkan hambanya dengan kewajiban shalat, ialah Allah tidak akan memaksa hambanya yang lemah seperti anak kecil dan orang gila misalnya. Begitu juga bagi orang sakit, Allah memberikan keringanan kepadanya dengan memperbolehkan shalat sambil duduk bahkan jika tidak mampu duduk ia diperbolehkan shalat sambil tidur. Begitu juga bagi orang yang sedang berperjalanan, ia diberikan dispensasi (keringanan) oleh Allah untuk menjamak (mengumpulkan dua sholat dalam satu waktu) atau meng-qashar (memendekkan raka’at shalat) yang hal itu bertujuan agar para hamba tidak merasa terbebani dan merasa berat dalam menyembah Allah swt.
            Begitulah agama Islam yang ajarannya tidak pernah  memberatkan dan selalu disesuaikan dengan kemampuan manusia. Sebagimana Allah tegaskan:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ [سورة الحج: 78]
Artinya: Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Haj:78)
 يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ [سورة البقرة: 185]
Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.(QS. Al-Baqarah:185)

PENGERTIAN SHALAT JAMAK & QAHSAR
Jamak
Secara bahasa jamak mempunyai arti mengumpulkan. Namun yang dimaksud di sini adalah mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu. Semisal mengerjakan shalat dzuhur pada waktu ashar atau mengerjakan shalat maghrib di waktu isya’.

Qashar
            Secara bahasa qashar adalah memperpendek atau meringkas. Namun yang dimaksud qashar dalam shalat, ialah memperpendek raka’at shalat. Semisal shalat dzuhur yang biasanya dilakukan empat raka’at namun diringkas menjadi dua raka’at.

Jamak Qashar
Jamak Qashar adalah shalat yang dilakukan dengan cara dikumpulkan serta diringkas, sesuai dengan syarat dan ketentuan. .

ILLAT ATAU ALASAN DIPERBOLEHKAN MENJAMAK & MENQASHAR
            Sebab atau alasan diperbolehkan melakukan jamak & qashar adalah dikarenakan adanya perjalanan yang cukup jauh. Bukan dikarenakan kesulitan (مشقة ) yang menimpa seseorang di waktu perjalanan. Sebab jika yang dijadikan alasan adalah adanya kesulitan, niscaya bagi seseorang yang melakukan perjalanan yang tidak sampai menempuh jarak 82 km namun menemukan kesulitan, hal itu akan diperbolehkan. Padahal biasanya jika jarak yang ditempuh tidak sampai 82 km itu tidak akan sampai melelahkan. Sedangkan batasan kesulitan (مشقة) itu masih relatif dan tidak jelas. Maka kemudian, mayoritas ulama’ sepakat bahwa yang menjadi alasan terkuat diperbolehkan menjamak dan men-qoshar adalah adanya perjalanan yang sampai menempuh jarak sekitar 82 km, baik itu melelahkan (menyulitkan) atau tidak. Hal itu dikarenakan pada umumnya seseorang yang menempuh jarak itu akan merasakan kelalahan.
            Dengan demikian pula, maka bagi seseorang yang melakukan perjalanan dengan menggunakan transportasi (kendaraan) yang sangat cepat (pesawat dll.) walaupun tidak sampai melelahkan menyulitkan namun menempuh jarak yang cukup jauh, itu tetap diperbolehkan menjamak dan men-qashar shalat.

SEBAB DIPEREEBOLEHKAN MEJAMAK & MENQASHAR
Diantara sebab diperbolehkan menjamak atau mengqashar sholat ialah:
  • Jarak perjalanan yang ditemupuh -+82 km (berangkatnya saja, bukan pulang pergi)
  • Perjalanannya mempunyai tujuan yang jelas
  • Perjalanannya bukan perjalanan maksiat. (العاصي بالسفر) (bukan untuk mencuri, membunuh misalnya). Kecuali jika maksiatnya ditemukan ditengah perjalanan  (العاصي في السفر). Maka itu tetap diperbolehkan.
  • Sudah keluar dari batas desa yang ditempati

Macam-Macam Jamak
Jamak ada 2 macam:
  1. Jamak taqdim: Mengumpulakan 2 shalat dan dikerjakan pada waktu pertama.
  2. Jamak ta’khir: Mengumpulkan 2 shalat dan dikerjakan pada waktu yang kedua
Contoh: Jika menjamak shalat dzuhur dengan ashar dan dikerjakan pada waktu dzuhur, maka itu dinamakan jamak taqdim. Sebaliknya, jika dilakukan pada waktu ashar, maka dinamakan jamak ta’khir.
Syarat-Syarat Jamak Taqdim
  1. Memulai dengan melakukan shalat yang pertama (tartib)
  2. Niat menjamak pada waktu takbiratul ihram.
  3. Tidak memisah antara shalat yang pertama dan shalat yang kedua dengan waktu yang cukup lama.
  4. Masih dalam keadaan perjalanan
  5. Tersisanya waktu shalat pertama hingga waktu shalat kedua.
  6. Shanya shalat yang pertama


Syarat-Syarat Jamak Ta’khir
  1. Berniat untuk menjamak sebelum habis waktu shalat yang pertama.
  2. Masih dalam perjalanan hingga masuk pada takbiratul ihram shalat yang kedua.

Catatan:
Dalam jamak ta’khir tidak diwajibkan tartib, serta tidak wajib niat jamak, juga diperbolehkan memisah shalat

Syarat-Syarat Mengqashar Shalat
Syarat diperbolehkannya meng-qashar anatara lain:                                      
  1. Shlalatnya harus berupa shalat yang mempunyai 4 raka’at (Dzuhur, Ashar, Isya’)
  2. Shalat yang di qashar adalah shalat mu’ada’ (bukan shalat qadlo’)
  3. Niat meng-qashar pada waktu takbiratul ihram.
  4. Tidak bermakmum pada orang yang tidak meng-qashar shalatnya.

LAFADZ-LAFADZ NIAT QASHAR & JAMAK
Shalat Qashar
اُصَلِّيْ فَرْضَ الظُّهْرِ/العَصْرِ/العِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا لِلََّهِ تَعَالَى
Jamak Taqdim
اُصَلِّيْ فَرْضَ الظُّهْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ الْعَصْرُ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ لِلَّهِ تَعَالَى
اُصَلِّيْ فَرْضَ الْعَصْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ الظُّهْرُ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ لِلَّهِ تَعَالَى
اُصَلِّيْ فَرْضَ المَغْرِبِ ثَلَاثَ رَكَعَاتٍ مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ العِشَاءُ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ لِلَّهِ تَعَالَى
اُصَلِّيْ فَرْضَ العِشَاءِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ المَغْرِبُ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ لِلَّهِ تَعَالَى
Jamak Ta’khir
اُصَلِّيْ فَرْضَ الظُّهْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ الْعَصْرُ جَمْعَ تَأْخِيْرٍ لِلَّهِ تَعَالَى
اُصَلِّيْ فَرْضَ الْعَصْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ الظُّهْرُ جَمْعَ تَأْخِيْرٍ لِلَّهِ تَعَالَى
اُصَلِّيْ فَرْضَ المَغْرِبِ ثَلَاثَ رَكَعَاتٍ مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ العِشَاءُ جَمْعَ تَأْخِيْرٍ لِلَّهِ تَعَالَى
اُصَلِّيْ فَرْضَ العِشَاءِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ المَغْرِبُ جَمْعَ تَأْخِيْرٍ لِلَّهِ تَعَالَى
Jamak Taqdim & Qashar
اُصَلِّيْ فَرْضَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ العَصْرُ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ لله تَعَالَى
اُصَلِّيْ فَرْضَ العَصْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ الظُّهْرُ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ لله تَعَالَى
اُصَلِّيْ فَرْضَ المَغْرِبِ ثَلَاثَ رَكَعَاتٍ مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ العِشَاءُ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ لِلَّهِ تَعَالَى
اُصَلِّيْ فَرْضَ العِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ المَغْرِبُ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ لله تَعَالَى
Jamak Ta’khir & Qashar
اُصَلِّيْ فَرْضَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ العَصْرُ جَمْعَ تَأْخِيْرٍ لله تَعَالَى
اُصَلِّيْ فَرْضَ العَصْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ الظُّهْرُ جَمْعَ تَأْخِيْرٍ لله تَعَالَى
اُصَلِّيْ فَرْضَ المَغْرِبِ ثَلَاثَ رَكَعَاتٍ مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ العِشَاءُ جَمْعَ تَأْخِيْرٍ لِلَّهِ تَعَالَى
اُصَلِّيْ فَرْضَ العِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ المَغْرِبُ جَمْعَ تَأْخِيْرٍ لله تَعَالَى


** Dipersentasikan di Bustanul Ulum Larangan Badung pada tanggal 28 September 2012
Oleh : Ust. Qomaruddin